“CIPTA BATIK VOKASI”
Peran Sekolah Vokasi Pedesaan dalam Membentuk
Eksportir Muda Berwawasan Global
Anditya Wiganingrum
Guru SMK N 1 Kismantoro
anditya9118@gmail.com
Tantangan terbesar pendidikan vokasi di Indonesia saat ini bukan lagi sekadar ketersediaan alat, melainkan kesenjangan antara kurikulum di ruang kelas dengan tuntutan pasar global yang dinamis. Lebih spesifik lagi, sekolah vokasi di wilayah pedesaan dan pinggiran yang sejatinya merupakan garda terdepan potensi lokal sering kali terhambat oleh stigma, seolah sekolah vokasi pedesaan hanya ditugaskan sebagai penyedia tenaga kerja lokal semata, alih-alih produsen nilai ekspor. Paradigma inilah yang harus diubah dalam pandangan masyarakat untuk membendung arus urbanisasi sekaligus mengatrol upaya peningkatan daya saing bangsa di kancah global.
Di tengah tantangan ini, SMK Negeri 1 Kismantoro adalah salah satu bagian dari sekolah vokasi pedesaan di Kabupaten Wonogiri. SMK Negeri 1 Kismantoro merupakan institusi yang secara geografis terletak di daerah perbatasan dan pinggiran kota, hal in ini membuktikan bahwa keterbatasan dapat diubah menjadi sebuah keunggulan kompetitif. Sekolah ini merancang sebuah inisiatif proyek inovatif bertajuk “Cipta Batik Vokasi”. Proyek ini bukan sekadar kegiatan kokurikuler, melainkan sebuah kegiatan kontekstual peserta didik yang mengintegrasikan tiga pilar krusial yaitu keterampilan kejuruan industri, pelestarian kearifan lokal (Batik Ciprat), dan tanggung jawab sosial-ekonomi (kemitraan dengan pengrajin disabilitas). Hal ini menegaskan bahwa model pendidikan yang berani menghubungkan keterampilan teknis dengan inklusivitas sosial dan potensi ekspor lokal, seperti yang diwujudkan dalam “Cipta Batik Vokasi” adalah jawaban paling konkret atas panggilan ranah pendidikan sebagai bagian dari warga negara untuk menumbuhkan semangat ekspor sejak dini.
Pendidikan vokasi yang efektif harus berfokus pada praktik langsung atau hands-on dan dirancang untuk menjembatani kurikulum dengan tuntutan pasar. Vokasi harus mengubah produk sekolah menjadi prototipe ekspor. Standar kualitas harus global, bukan hanya lokal. Inilah cara paling efektif untuk menciptakan peluang kerja menarik di daerah asal dan melawan urbanisasi, seperti yang diupayakan oleh SMK Negeri 1 Kismantoro.
Proyek “Cipta Batik Vokasi” adalah manifestasi dari transformasi kurikulum tersebut. Siswa dari kompetensi keahlian yang terkesan sangat industrial, seperti Teknik Jaringan Komputer dan Telekomunikasi (TJKT), Teknik Pengelasan dan Fabrikasi Logam (TPFL), dan Teknik Otomotif (TO), terlibat aktif dalam proses produksi batik. Siswa tidak hanya menguasai keahlian kejuruan inti, tetapi ditantang untuk mengalihfungsikan material sederhana seperti kardus menjadi cap batik unik sebagai media branding visual. Siswa TJKT mendesain motif yang mencerminkan pola sirkuit atau kode biner, siswa TPFL membuat bentuk geometris struktur las, dan siswa TO merancang ikon roda gigi.
Integrasi keahlian industri ke dalam warisan budaya ini adalah poin kunci. Ini membuktikan bahwa kompetensi teknis modern tidak bertentangan dengan warisan budaya, melainkan memperkuat nilai estetikanya dengan identitas teknis yang unik. Motif yang terintegrasi dan berbeda ini secara otomatis menciptakan diferensiasi produk yang dicari oleh pasar global yang jenuh dengan motif konvensional. Siswa telah belajar meramu value atau nilai jual produk tanpa harus berteori tentang marketing yang rumit.
Dalam pemasaran global, konsumen modern semakin menghargai produk yang memiliki narasi etis, sosial, dan inklusif. Kolaborasi dengan penyandang disabilitas (difabel) bukanlah hambatan yang membutuhkan bantuan sosial, melainkan aset terkuat dalam membangun social value ekspor.
Proyek ini menjalin kemitraan erat dengan Batik Ciprat Karya Barokah dari Desa Pucung, Kecamatan Kismantoro sebuah sentra kerajinan batik unik yang memberdayakan kaum penyandang disabilitas sebagai pengrajin utama. Melalui interaksi langsung ini, siswa tidak hanya mengasah keterampilan teknis, tetapi yang lebih penting, menginternalisasi nilai-nilai empati, tanggung jawab sosial, dan kolaborasi. Praktik baik ini secara nyata memadukan kompetensi nilai karakter siswa dengan kearifan lokal.
Opini saya, proyek ini mengajarkan bahwa bisnis yang baik adalah bisnis yang bermanfaat bagi masyarakat (Purpose-Driven Business), sebuah filosofi yang sangat diterima dan dicari di pasar Internasional. Narasi sosial dari “Batik Cipta Vokasi” adalah sebuah batik Ciprat yang dibuat oleh siswa SMK Negeri 1 Kismantoro dengan merangkul karya para difabel yang menghasilkan keindahan secara inheren memiliki daya jual yang kuat di luar negeri. Faktanya, Batik Ciprat difabel telah terbukti diminati oleh pasar di Malaysia dan bahkan Eropa seperti Irlandia, menegaskan bahwa produk dengan narasi sosial yang kuat adalah mata uang global. Mindset ekspor sejak dini tidak hanya tentang membuat produk, tetapi tentang manajemen rantai nilai dan literasi bisnis global. Pendidikan harus menyediakan platform agar siswa dari jurusan non-bisnis sekalipun memahami siklus bisnis global.
Melalui proyek kolaborasi ini, siswa dari jurusan teknis terlibat aktif dalam aspek branding visual, pemasaran digital yang efektif, dan pengelolaan administrasi yang rapi, sebagai dukungan langsung bagi Batik Ciprat Karya Barokah. Siswa tidak sekadar diajari cara mengoperasikan komputer, tetapi bagaimana kompetensi ilmu TJKT dapat digunakan untuk membangun ekosistem bisnis mikro. Misalnya, siswa bertindak sebagai tim digital yang mengelola storytelling produk, membuat deskripsi dwibahasa untuk platform e-commerce global, serta mengoptimalkan keyword pencarian untuk menargetkan buyer di luar negeri.
Di sisi lain, siswa TPFL dan TO, dengan pemahaman presisi teknis yang dimiliki, dapat menyumbang dalam manajemen mutu dan logistik dasar, memastikan produk dikemas sesuai standar pengiriman Internasional. Opini penguat saya adalah, kolaborasi ini efektif menciptakan inklusivitas ekonomi yang berkelanjutan, di mana lulusan SMK adalah konsultan sekaligus produsen bagi komunitas lokal. Siswa belajar simulasi bisnis ekspor nyata, memahami bagaimana tim teknis mendukung tim produksi, dan secara eksplisit menunjukkan bahwa lulusan SMK mampu berinovasi dan berwirausaha mandiri dengan menggabungkan keahlian industri dengan warisan budaya.
Proyek “Cipta Batik Vokasi” adalah bukti nyata bahwa pendidikan, bahkan di daerah pedesaan, mampu menjadi motor penggerak ekonomi global. Model ini berhasil menepis anggapan bahwa ekspor hanya urusan kota besar dan menghilangkan mitos bahwa ekspor adalah hal yang rumit. Melalui kurikulum yang inklusif dan berbasis kearifan lokal, SMK Negeri 1 Kismantoro berhasil mencetak Eksportir Muda dan Duta Budaya yang sadar akan potensi lokal dan tanggung jawab sosial. Sudah saatnya pemerintah dan institusi pendidikan lain mereplikasi model kolaboratif dan inklusif ini, menjadikan sekolah vokasi di daerah pedesaan sebagai pusat inkubasi inovasi global yang berakar kuat pada nilai-nilai dan potensi lokal bangsanya.

